written by Tri Rahayu
September 2015
“Sebaik-baik
kamu adalah yang memberikan manfaat kepada orang lain”. (H.R. Bukhari)
Islam adalah agama rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Sejak awal agama
ini diturunkan hingga proses penyebarannya, semua dilakukan dengan jalan damai.
Konsep dakwah Rasulullah yang fleksibel dan tidak menggunakan kekerasan,
membuat agama ini begitu diterima oleh banyak orang di penjuru bumi. Kekerasan
watak kaum Arab, tak terkecuali watak salah seorang Khulafaur Rasyidin kita, Umar
Bin Khattab dan juga Pamanda Nabi, Hamzah Bin Abdul Muthalib, mampu ditaklukkan
oleh kelembutan kepribadian Rasulullah sebagai manusia mulia yang mendekati
sempurna (Rasulullah sebagai uswatun hasanah adalah contoh hidup dari
pengimplementasian Al Quran).
Dengan konsep dakwah yang begitu arif itu pula, maka tak
heran kini Islam menjadi agama dengan penganut terbesar di Bumi Merah Putih , Indonesia . Berawal dari kedatangan
para pedagang muslim dari Gujarat , Persia dan India
ke Indonesia .
Apabila para kolonialis dan imperialis barat membawa semboyan Gold, Glory dan Gospel yang menghalalkan
segala cara, ketika melakukan ekspansi ke negeri baru, maka para pedagang
tersebut membawa sebuah “pencerahan” bagi masyarakat Indonesia melalui ajaran
Islam dan metode yang mereka lakukan. Ajaran Islam yang damai dan membawa
semangat persamaan dan keadilan dengan mudahnya diterima oleh semua kalangan,
dari rakyat jelata hingga raja. Sejarah telah menuliskan betapa Islam menjadi
solusi konstruktif atas kondisi masyarakat yang pada masa itu banyak terbagi
dalam kasta-kasta.
Bahkan pada masa abad pertengahan, ketika Barat memasuki
zaman kegelapan (dark age), dunia
Islam sedang dalam masa kejayaannya. Dunia Islam melahirkan ilmuwan-ilmuwan
muslim yang menjadi perintis bagi ilmu pengetahuan dunia. Sebut saja Ibnu Sina
(Avichena), ataupun Al Jabar. Sumbangsihnya
bagi ilmu pengetahuan modern begitu besar. Ketika kaum agamawan dan para
pemimpin di negeri Barat membatasi bahkan melarang keras adanya perkembangan
ilmu pengetahuan karena dianggap kontradiksi dengan ajaran agama (yang kalau
ditelusuri sebenarnya lebih kepada sebuah upaya untuk melanggengkan kepentingan
mereka), maka Al Quran menjadi sebuah kitab suci yang menawarkan betapa
dahsyatnya alam semesta diciptakan dengan sejuta potensi yang dapat digali demi
kemaslahatan penduduk bumi. Dengan begitu sempurnanya ajaran yang terkandung di
dalam Al Quran, kaum pemikir barat bahkan berbondong-bondong mengadopsi dan
menuntut ilmu pada dunia muslim. Maka tak berlebihan rasanya dengan ungkapan yang
menyatakan bahwa Barat “berutang besar” pada dunia Islam.
Ajaran Islam memang begitu komprehensif. Kesempurnaan
ajaran Islam telah termaktub dalam kitabNya yang suci dan terjaga hingga
akhirul zaman, Al Quranul Karim, juga dalam segala kata dan tindakan Nabi yang
terangkum dalam As Sunnah, serta ijtihad para ulama. Dan dengan kesempurnaan
ajarannya yang mencakup seluruh aspek kehidupan menjadi petunjuk yang
seharusnya (baca : wajib) kita pedomani dalam kehidupan sehari-hari. Lalu
apakah dalam tataran praksis, para umat yang mengaku umat Muhammad telah
mencerminkan pribadi-pribadi islami (generasi Rabbani)?
Jika bicara jumlah (kuantitas), kita memang masih “berani”
berbangga hati, karena Indonesia
menjadi penduduk dengan jumlah muslim terbesar di dunia. Namun jika dibenturkan
dengan kualitas, masih adakah yang bisa kita tonjolkan? Sebuah pertanyaan dilematis
yang jawabannya akan menjadi lebih dilematis lagi. Terbelakang, rendahnya
tingkat pendidikan, kemiskinan, tidak disiplin, tingkat kesehatan yang
rendah-lah yang kini banyak diidentikkan dengan dunia muslim, termasuk Indonesia .
Meskipun bahasanya cukup diperhalus dengan sebutan Negara-negara Berkembang
atau juga Negara-negara Dunia Ketiga. Realita yang sangat memprihatinkan, namun
itulah fakta.
Namun, bicara ajaran Islam tidak selesai hanya pada rutinitas
ibadah ghoiru maghdah (langsung
kepada Allah) saja, dan lalu menafikkan hubungan dengan manusia lainnya juga
alam. Ajaran Islam mengajarkan konsep tawazun
(keseimbangan) dalam segala hal. Bahkan dalam setiap rutinitas ibadah seperti
shalat, puasa, zakat, haji terkandung nilai-nilai sosial yang begitu tinggi. Bagaimana
setiap muslim yang menegakkan dan mengamalkan sholat akan tercegah dari
perbuatan keji dan mungkar. Pun ibadah puasa misalnya, terdapat nilai-nilai
sosial dan humanis yang begitu tinggi, karena puasa memang tak hanya sekedar
menahan lapar dan dahaga saja. Belum lagi bicara zakat, yang begitu konsen akan
kepekaan sosial dan kesejahteraan umat. Jika saja semua muslim benar-benar
mengamalkan semua ajaran Islam, tak hanya selesai sebagai rutinitas belaka,
maka berulangnya kejayaan yang pernah menjadi sejarah adalah sebuah hal yang
sangat nyata. Wallahu ‘alam bi showab.
No comments:
Post a Comment